Selasa, 16 Mei 2017

Ketika Turis Asing Bilang, "We Don't Like Bali"

Ketika Turis Asing Bilang, "We Don't Like Bali"

Baca Juga


Pagi itu udara cerah. Awan tipis seperti kapas putih terbentang menghiasi langit biru. Suasana pagi yang nyaman. Setelah melalui pemeriksaan handheld detector, aku menuju meja counter di dalam ruangan samping kiri ruang tunggu untuk melakukan check in. Tak ada antrian yang panjang, penumpang hanya beberapa orang saja dan sepasang turis asing pria dan wanita berusia sekitar 40-an. Kulit mereka tampak kecoklatan, ciri khas bule yang berlibur ke Indonesia.

Setelah selesai check in, aku duduk sendirian di ruang tunggu Bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende sambil menikmati pemandangan yang indah di luar. Hamparan rumput yang hijau sangat kontras dipadu dengan birunya aspal landasan dengan latar belakang pegunungan yang menjulang tinggi. Seperti dalam lukisan. Hening dan indah

Tak lama kemudian terdengar pengumuman bahwa penumpang jurusan Labuan Bajo dan Denpasar agar segera naik ke pesawat. Pesawat itu akan transit di Labuan Bajo sebelum menuju tujuan akhir Denpasar. Dengan sigap segera kuraih tas ransel aku dan menuju pintu keluar. Kuserahkan tiket ke petugas Bandara yang berjaga di depan pintu keluar ruang tunggu.

Setelah melewati pemeriksan tiket di pintu keluar ruang tunggu, kulangkahkan kakiku menuju Apron tempat parkir pesawat yang akan kutumpangi. Pesawat itu tampak diam membisu dan mengkilat diterpa mentari pagi. Dua pramugari dengan senyum manis menghiasi wajah mereka yang cantik tampak berdiri berdampingan di samping pintu pesawat. Mereka mengucapkan selamat datang satu per satu kepada para penumpang yang naik ke pasawat.

Aku menganggukkan kepalaku dan membalas senyum mereka, serta mengucapkan terima kasih. Setelah masuk ke pesawat, segera kucari tempat dudukku sesuai nomor seat yang tertera di tiket. Beruntung aku dapat tempat duduk persis di samping jendela sehingga memudahkanku untuk mengabadikan pemandangan dari atas pesawat dengan menggunakan kamera ponsel.

Kusetel ponselku dengan airplane mode dan mengenakan seat belt karena waktu tempuh penerbangan dari Ende ke Labuan Bajo hanya sekitar 45 menit. Tak lama kemudian sepasang turis berdiri di samping tempat dudukku. Yang pria langsung duduk di sampingku setelah menaruh tasnya di atas bagasi, sedangkan yang wanita duduk di kursi sebelah yang berseberangan dengan tempat duduk aku.

Setelah semua penumpang telah berada di kursi masing-masing, baling-baling pesawat secara perlahan mulai berputar. Pesawat kemudian bergerak perlahan menyusuri koridor landasan sampai di ujung landasan pacu sembari pramugari memperagakan langkah-langkah penyelamatan dalam keadaan darurat. Setelah sampai di ujung landasan, pesawat lalu balik arah dan berhenti.

 Gunung Iya, gunung berapi di sisi selatan pegunungan Bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende yang tampak menyala oleh belerang (dokpri) Gunung Iya, gunung berapi di sisi selatan pegunungan Bandara Haji Hasan Aroeboesman Ende yang tampak menyala oleh belerang (dokpri)

Tak lama kemudian mesin pesawat menderu sangat kencang sampai body pesawat bergetar dan berguncang. Dari balik jendela tampak rerumputan meliuk-liuk dengan kencangnya karena diterpa angin dari baling-baling pesawat dan deru mesin pesawat yang menggemuruh. Tak lama kemudian, pesawat lalu melesat cepat dengan kecepatan tinggi dan dalam hitungan detik lepas landas dan melayang ringan di udara. Dari atas pesawat tampak lautan biru yang teduh terhampar luas. Pesawat itu kemudian menukik ke arah kanan menyusuri jejeran pegunungan Flores yang hijau dan tropis. Segera kuambil ponsel dan mengabadikan pemandangan yang indah itu dari balik jendela pesawat. Sang turis yang duduk di sampingku tampaknya mengamati aku, lalu nyelutuk, "Wonderful island, isn’t it?”

Sambil tetap memotret pemandangan di bawah, aku menganggukkan kepalaku dan menjawabnya dengan singkat, “Yes. That’s very beautiful from the sky.”

“We like Flores island, exotic and still virgin,” ia menimpali.

“Not only Flores island, but Indonesia in general. We have thousands of beautiful islands,” kujawab singkat sambil mematikan ponsel untuk menghemat baterai.

“By the way, where do you come from?” aku mengawali percakapan.

“We come from Austria, a small country in Europe.”

“Oh, I see. Is she your wife?” aku bertanya sambil melongok ke arah istrinya.

Istrinya tersenyum ke arahku sambil melambaikan jemarinya dan bilang, “Nice to meet you.”

Ia menjawab pertanyaanku dengan anggukan, lalu menjelaskan bahwa ini adalah perjalanan mereka yang pertama ke Indonesia.

Flores island (dokpri) 
dokpri
“So, what do you think about Indonesia?” aku bertanya lebih lanjut.

“Beautiful country, very beautiful. We have been to Thailand, Vietnam, but Indonesia is the best. We will come again, maybe next year visit. There are still many interesting places we must see.”

“How about Bali? Have you visit Bali?” aku bertanya lebih lanjut.

“Yes, we arrived at the first time in Bali. Then we go to Lombok and Flores island. From Flores, we plan to visit Jogjakarta,” ia menjelaskan.

“Bali is beautiful, right?” aku bertanya.

“We don't like Bali,” ia menjawab singkat.

“Oh ya?” Ini bule yang kesekian kalinya yang menjawab hal yang sama ketika kutanya pendapat mereka tentang Bali.

“Bali is too modern. Too crowd, noisy, and many hawkers. The beaches in Bali are mostly dirty, and most of prices are quite expensive,” ia menjelaskan lebih lanjut.

“Oh ya? What about Ubud? As far as I know, Ubud is quite calm, right? Have you been there?” aku bertanya dengan takjub setelah mendengar penjelasannya.

“Yes, we’ve been to Ubud, Kintamani, and many places in Bali. They’re all the same, too crowd, noisy, dirty, most of prices are expensive, and many annoying Hawkers,” ia melanjutkan penjelasannya.

“Yeah, Bali is a famous island, that’s why a lot of people around the world come to Bali. That's why Bali is crowd now, right?” aku mencoba membela.

“Yes, we know that. Your government should pay attention to the matter of comfortable and pleasure. Keep the characteristic of original culture and the way of life. We cannot enjoy a place which is crowd, noisy, dirty, prices are expensive, and annoying hawkers,” ia menjelaskan sambil sesekali menggerak-gerakkan alisnya ke atas.

"Yes, that's true," kujawab singkat.

Apa yang disampaikan oleh turis Austria itu memang benar adanya. Jujur saja, Bali saat ini adalah Bali dengan gaya hidup yang modern, banyak bangunan modern minimalis yang dibangun, tol di atas Teluk Benoa, mall, ruko dimana-mana, dan gedung-gedung modern sehingga karakteristik Bali sebagai pulau dewata pun memudar. Padahal, yang dicari turis asing bukan modernisasi dan gaya hidup modern di Bali. Mereka sudah bosan dengan hal-hal yang modern di negara mereka. Rata-rata para turis asing mencari keasrian alam dan gaya hidup orang lokal yang masih asli, masyarakatnya ramah, enggak money minded.

Harga jual cenderamata, barang-barang dagangan, dan harga makanan maupun minuman yang wajar-wajar saja karena sepantar pengamatanku, di Bali harga untuk turis asing beda dengan orang lokal. Pantai-pantai di Bali juga enggak bersih, lihat saja Pantai Kuta, Sanur, kecuali Nusa Dua karena banyak resort mewah dan hotel-hotel berbintang lima dengan private beach di sana. Itu belum lagi ulah pedagang asongan yang membuntuti para turis menawarkan barang dagangan mereka. Bagaimana Bali bisa menjadi destinasi wisata yang memberikan kenyamanan bagi para wisatawan kalau kondisinya begitu.

Suara dari speaker pesawat membuyarkan lamunanku yang mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di Bandara Labuan Bajo. Penumpang agar mengenakan kembali seat belt, melipat kembali tray table di kursi depan dan menegakkan sandaran kursi.

Pesawat itu lalu menukik ke arah kiri, kemudian menurun dengan perlahan. Dari jendela pesawat terlihat hamparan pemandangan yang indah di bawah. Pulau yang eksotik. Pantas saja menjadi destinasi wisata Internasional.

Labuan Bajo (dokpri)

Tak lama kemudian, roda pesawat menyentuh landasan pacu dan melaju dengan kecepatan tinggi di atas aspal landasan. Setelah pesawat berhenti di Apron dan baling-baling pesawat berhenti memutar, turis itu segera mengambil barang bawaannya, lalu menyalami aku sambil menepuk-nepuk pundakku dan berkata, "Nice to meet you." Aku tetap duduk dalam pesawat karena tujuan perjalananku menuju Denpasar untuk transit ke Jakarta.

Sumber: http://www.kompasiana.com/mawalu2/ketika-turis-asing-bilang-we-don-t-like-bali_585a0436a923bd230eb105d9

Related Posts

Ketika Turis Asing Bilang, "We Don't Like Bali"
4/ 5
Oleh